Minggu, 29 September 2013

Sahabat Abadi (2)

25 September 2013

Dua orang sahabat berlari menembus hujan deras. Pakaian mereka basah kuyup.
"Sudah kubilang, kita nyasar! Jalan raya belum kelihatan juga!" seru Nora tersengal-sengal. "Seandainya kamu tidak sok tahu, kita tidak bakalan kehujanan seperti ini!"
Windy yang berlari di sampingnya tampak gugup. Ia merasa bersalah. Sekeliling mereka begitu senyap. hanya ada beberapa rumah dengan jarak berjauhan. Selebihnya hanya terdapat lahan kosong yang dipenuhi semak belukar dan rumput liar.
Beberapa saat kemudian, Windy memperlambat larinya. Ia menunjuk sebuah rumah di kiri jalan. "Kita berteduh di rumah kosong itu saja!" usulnya.
Nora langsung mengangguk. Ia sudah lelah berlari sejak tadi.
Keduanya segera mendorong pagar besi berkarat yang tidak terkunci. Dedaunan kering berserakan di pekarangan. Rumput liar dan semak tumbuh di mana-mana. Rumah itu tampak tua dan tidak terawat. Temboknya hitam dikotori tulisan graffiti.
Mereka berteduh di beranda rumah yang terbuka. Keduanya membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hari ini sebenarnya berawal menyenangkan. Tadi, sepulang sekolah, teman sekelas mereka Alvira mengajak mereka bermain ke rumahnya. Tentu saja Windy dan Nora senang. Beru kali ini mereka berkunjung ke rumah Alvira yang terletak di tempat yang agak terpencil dan jauh dari jalan raya.
Menjelang sore, keduanya pamit pulang. Windy yakin ia dan Nora akan menemukan jalan pulang sendiri. Namun, kenyataannya mereka malah tersesat.
Beberapa menit berlalu. Windy dan Nora masih berteduh di beranda rumah tua itu. Tak ada tanda-tanda hujan mereda. Curahnya malah semakin deras. Nora mendekapkan kedua tangannya di atas dada. Badannya menggigil. "Win, aku kedinginan," ucapnya memecah keheningan.
Windy tersenyum kecut. Ia melihat sekelilingnya. Matanya segera terpaku pada pintu rumah. Perlahan diputarnya gagang pintu. "Kita masuk saja. Mungkin di dalam lebih hangat," katanya.
Windy melangkah masuk diikuti Nora yang ragu-ragu.
Ruangan temaram. Mereka tak dapat melihat dengan jelas. "Win...aku...aku takut," desis Nora.
Windy tak menjawab. Ia menajamkan mata dan telinga di tengah ruangan yang senyap. Sayup-sayup terdengar bisikan. Tolooong...tolooong...kami terperangkap....
Windy tercekat. "Ada bisikan minta tolong. Sepertinya berasal dari sana," katanya sambil menunjuk lukisan besar berbingkai antik yang tergantung pada dinding ruangan.
Keduanya mendekati lukisan itu. Aneh. Tampak beberapa anak berdiri mematung. Wajah-wajah mereka seperti menyimpan kesedihan mendalam. Tatapan mereka hampa.
"Lihat! Mulut anak-anak itu bergerak-gerak. Mereka memang meminta tolong," sahut Windy ngeri.
Tolong kami...tolong kami...tolong kami...
"Astaga! Rumah ini sepertinya ber...berhantu," bibir Nora bergetar.
Seketika seberkas cahaya redup muncul dari sudut ruangan, melesat cepat, dan menyambar Windy dan Nora. Keduanya limbung dan terjatuh di lantai kayu.
Windy bersiap bangkit, namun tak bisa. Seperti ada kekuatan yang menahannya. "Nora, tolong...aku...aku tak bisa berdiri," pinta Windy.
Nora menarik tangan sahabatnya. Namun gagal. Badan Windy sama sekali tak bergerak, seolah terpaku di lantai kayu.
Suara-suara aneh terdengar lagi. Tolong kami...tolong...tolong....
Windy bertambah panik. Ia meronta-ronta agar dapat berdiri. Napasnya tersengal. Keringat dingin mulai mebasahi dahinya. "Nora, tarik kakiku sekuat tenaga!"
Nora mencoba sekali lagi. Lagi-lagi gagal. Suara-suara itu semakin keras, bersahut-sahutan memenuhi ruangan yang temaram. Tolong kami...tolong...tolong...
"Kita harus segera keluar dari sini!" seru Nora. Suara-suara  itu seperti dengungan lebah di telinganya. Napasnya memburu. Ia menoleh dengan panik ke kiri dan kanan, lantas berlari menuju pintu.
Windy menggapai-gapai ke arah sahabatnya. "Nora, jangan pergi...jangan tinggalkan aku di sini...."
Nora tampak ragu. Ia ketakutan sekali. Namun, ia tidak mungkin meninggalkan Windy. Sahabatnya begitu baik dan setia kepadanya.
Perlahan, keberaniannya timbul. Ia berlari kembali menghampiri Windy. Ditariknya tangan sekuat tenaga. Suara-suara aneh itu semakin keras.
Ternggorokan Nora sampai seperti tercekik. Namun, ia menguatkan diri dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menolong Windy.
Berhasil! Windy berdiri! Terbebas dari cengkeraman kekuatan yang tidak kelihatan.Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlari secepat kilat meninggalkan rumah tua itu.
Tirai jendela tersibak. Sepasang mata menatap hampa kedua sahabat itu dari balik jendela rumah. "Kalian beruntung. Aku membebaskan kalian karena kalian adalah sahabat sejati. Kalian saling menolong dalam menghadapi masalah," katanya pelan.
Wajahnya yang kehitaman tampak sendu. Hari ini, tepat sepuluh tahun yang lalu, sahabatnya telah meninggalkannya di tengah kobaran api. Ia menyesal. Rasanya begitu menyedihkan dan menyakitkan.
Tatapannya beralih ke lukisan di dinding. "Sahabat-sahabat yang malang," desisnya. "Sahabat yang tak setia. Sahabat yang telah meninggalkan sahabatnya yang berada dalam kesulitan. Tempat terbaik bagi kalian adalah membeku dalam tulisan itu, menjadi sahabat abadiku...selamanya..."
-Tamat-
(Sumber: Majalah GILRS edisi 04 tahun IX)

Kamis, 19 September 2013

Sahabat Abadi (1)

25 September 2003

"Sepertinya hujan akan turun," kata Elena sambil menatap ke luar jendela kamar. Angin berhembus kencang. Dahan pohon akasia terangguk-angguk dengan cepat. Langit begitu gelap. Tak satu pun bintang yang tertampang di sana. 
Anggi yang berada di atas tempat tidur, merapatkan selimut ke dada. "Kalau udara dingin begini, paling enak minum secangkir cokelat panas."
Elena tersenyum pada sahabatnya itu. Akhir pekan ini begitu menyenangkan, sebab Anggi menginap di rumahnya. Meskipun ibu dan ayah Elena pergi sejak siang tadi untuk menghadiri sebuah acara, ia tak keberatan sama sekali. Ada Anggi yang menemaninya sepanjang hari.
"Oke deh, aku akan ke dapur untuk membuat dua cangkir cokelat panas," kata Elena seraya melangkah  ke luar kamar.
Selagi Elena pergi, Anggi menatap ke luar jendela. Tiba-tiba kilat menyambar diikuti gemuruh petir yang menggetarkan rumah. Seketika ruangan gelap gulita!
Anggi menjerit ketakutan. Buru-buru ia menarik selimut hingga menutupi kepalanya. "Elena...! Elena...! Kamu di manaa...?" serunya panik.
Ia menunggu beberapa menit. Tak ada jawaban. Anggi hanya bisa berdoa agar lampu segera menyala. 
Tiba-tiba, hawa dingin berhembus di kepala Anggi. Selimutnya tertarik perlahan. Ia tersadar, ada pendar cahaya di dekatnya.
"HUUAAAAA....!!" jerit Anggi sekuat tenaga.
Elena tertawa terpingkal-pingkal sambil menyikap selimut yang menutupi sahabatnya. Ia memegang sebatang lilin yang menyala. 
Elena tersenyum lebar. "Penakut! Cuma lampu mati saja kamu menjerit-jerit dan ngumpet di balik selimut," ledeknya sambil meletakkan lilin di atas meja sudut.
Wajah Anggi tampak memelas. "Mana cokelat panasku?"
"Ya ampun, Anggi! Bagaimana aku bisa membuat cokelat panas, kalau rumah gelap gulita begini," Elena memandang geli sahabatnya.
Anggi diam sejenak. Tiba-tiba, ia menyambar bantal dan melemparkannya ke arah Elena. "Nih, balasanku karena kamu telah menakut-nakutiku."
Elena ingin mengelak, tapi bantal sudah mendarat tepat di wajahnya. 
Anggi tertawa terbahak-bahak. "Bikinkan aku cokelat panas sebelum bantal itu melayang lagi!" Elena menyeringai jenaka. Ia tak mau kalah dan melemparkan kembali bantal itu ke arah Anggi. "Ini cokelat panas untukmu!" 
Refleks, Anggi menepis bantal dengan tangannya. Bantal terlempar dan mendarat tepat di atas lilin yang menyala.
Sejenak Elena dan Anggi melongo memandang kejadian yang tak disangka itu.
"Astaga! Bantalnya terbakar! Bagaimana ini... ambil air... air!" seru Elena gugup.
Secepat kilat Anggi melompat dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. 
Elena segera meraih selimut dan memukul-mukulkannya ke atas bantal yang terbakar. Sial! Api malah membakar selimut dan menjalar cepat ke atas tempat tidur.
"Anggiii...! Tolooong...! Api semakin besaaar...!" teriak Elena. 
Napasnya memburu. Ia berusaha memadamkan api dengan segala cara. Tapi, sia-sia. Kobaran api semakin ganas. Gulungan asap hitam mulai memenuhi kamar. 
Elena terbatuk-batuk hingga tersungkur di lantai kamar. Samar-samar ia melihat Anggi berdiri di ambang pintu. "Anggi, tolong aku..." pintanya lemah. Dadanya terasa sesak. 
Anggi hanya mematung di depan pintu. Wajahnya pucat basi. Sekujur tubuhnya gemetar melihat api dan asap tebal yang memenuhi kamar. Ember berisi air yang di genggamnya terlepas dan terguling di lantai. "Api... Apinya besar sekali! El, aku... aku takut..." sahutnya terbata-bata.
Elena memandang putus asa. Saat itu, hanya Anggi yang dapat menolongnya. Namun, Anggi malah ketakutan dan tidak bertindak apa-apa.
Elena tergolek di lantai. Kepalanya terasa pusing. Napasnya tersengal-sengal. Ia menghirup begitu banyak asap hitam. "Anggi...tolong aku..." rintihnya seraya menggapai-gapai ke arah sahabatnya.
Anggi menggeleng-gelengkan kepala dengan gusar. Ia lari menjauh sambil menangis histeris. 
"Anggi...jangan tinggalkan aku..." ucap Elena lemah.
Kobaran api semakin hebat. Elena tak berdaya.  Sekujur tubuhnya terasa panas. Mulutnya tak bisa lagi bersuara. Matanya tak mampu lagi melihat. Sepasang telinganya hanya bisa menangkap desis api yang melahap habis benda-benda di sekelilingnya.
-BERSAMBUNG-

Maafkan Aku, Shantika....

"Huh!" Alanna merengut kesal. Ia melirik ke arah Shantika. Ia
melihat Shantika disayang, dicium, dipeluk. Apapun akan Mama lakukan demi Shantika. Sedangkan Alanna?? Huh, dicium saja tidak pernah. Apalagi dibelikan barang yang ia sukai.

"Shantika, kamu mau apa, Sayang?" tanya Mama.
"Hm, aku mau... Baju baru aja deh!" jawab Shantika.
"Iya, nanti Mama beliin!" ujar Mama sambil tersenyum.
"Ma, Alanna juga mau dong, mau dibeliin baju baru kayak Shantika!" sahut Alanna.
"Nanti Mama beliin, ya! Tapi, punya Shantika dulu," jawab Mama.
"Kan, dibeliin barengan juga bisa, Ma!" bantah Alanna.
"Uang Mama tidak cukup kalau dibelikan barengan!" sahut Mama.
"Huh, kenapa sih, Mama lebih sayang Shantika daripada Alanna??" tanya Alanna.
"Sudah, ah. Kok kamu malah kasar gitu sama Mama? Siapa yang ngajarin kasar kayak gitu?!" marah Mama.
Alanna pun pergi begitu saja tanpa memedulikan panggilan Mama.
Samar-samar ia mendengar suara Mama dari dalam.
"Shantika, Mama beli baju untuk kamu dulu, ya!" ujar Mama.
"Sip, deh, Ma. Jangan lama-lama, ya!" seru Shantika.
Mama pun mulai menghilang dari pandangan Shantika.
"Huh, kenapa sih, Mama lebih sayang sama Shantika?! Padahal, aku dan Shantika kan, saudara kembar!" seru Alanna, tapi agak pelan agar suaranya tidak terdengar oleh Shantika.
"Eh, Alanna, di sini kamu rupanya. Mau main boneka sama aku enggak?" tanya Shantika sambil berlari kecil ke arah Alanna.
"Enggak, ah!" jawab Alanna ketus.
"Kenapa? Biasanya kamu mau. Kamu marah sama aku, ya?" tanya Shantika.
"Udah tahu, pake nanya lagi!" jawab Alanna ketus.
"Oh, ya udah, kalau begitu aku minta maaf, ya," kata Shantika.
"Enggak semudah itu, tahu!" seru Alanna.
"Tapi..."
"Huh, kamu itu ya, udah ngambil hati Mama dari aku! Harusnya aku yang dapat kasih sayang dari Mama, bukan kamu!" potong Alanna sambil memelototi Shantika. 
Shantika terdiam seribu kata. Setitik air mata jatuh membasahi pipi Shantika. Akan tetapi, Alanna tidak memedulikan hal itu.
Alanna berlalu pergi begitu saja. Pikirannya dipenuhi oleh kemarahan yang membara di hatinya.
Ia pun masuk ke kamarnya dan Shantika.
"Brakk!!" Alanna membanting pintu.
"Alanna, tunggu!" seru Shantika berusaha menyusul Alanna ke dalam kamarnya, tapi percuma. Alanna telah mengunci pintu kamarnya.
Shantika terduduk, menangis. "Apa salahku pada Alanna sehingga ia membenciku?" tanyanya sambil terisak.
Saat Mama pulang....
"Shantika, kamu kenapa Sayang?" tanya Mama khawatir. Shantika menggeleng. 
"Ayo, Mama antarkan kamu ke kamar Mama, ya," ucap Mama lembut.
"Brakk!!" tiba-tiba pintu kamar Alanna terbuka lebar. Muncullah Alanna di depan pintu.
"Enggak! Enggak boleh! Shantika enggak boleh ke kamar Mama!" seru Alanna.
"Alanna! Apa kamu yang membuat Shantika menangis?!" tanya Mama.
"Iya, memang kenapa??" jawab Alanna sekaligus bertanya.
"Alanna, kamu itu kejam banget sama Shantika!" marah Mama.
"Biarin!" jawab Alanna ketus. Sementara Shantika masih terus menangis.
"Kamu ikut Mama sekarang juga!" seru Mama sambil menggandeng tangan Alanna.
"Mama, aku enggak mau di sini!" seru Alanna.
"Ini hukuman untuk kamu! Jangan sekali-sekali kamu berbuat kayak gitu sama Shantika!" marah Mama.
"Ma, jangan, Ma!" tahan Shantika.
"Enggak bisa, Shantika! Mama harus kasih hukuman sama Alanna!" jawab Mama.
"Brakk!!" pintu gudang pun tertutup dan terkunci. Alanna menangis di dalam. 
"Shantikaaa!!!!" teriak Alanna kencang. Akan tetapi, teriakkannya tidak dihiraukan oleh Mama.
"Shantika, kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Mama lembut.
"Shantika enggak apa-apa kok, Ma," jawab Shantika.
"Ikut Mama, yuk, kita jalan-jalan," ajak Mama.
"Enggak ah, Ma, Shantika enggak mau kalau Alanna enggak ikut," tolak Shantika.
"Hm, ya sudah. Mama akan melakukan apa saja, demi kamu," ucap Mama.
Mama pun membebaskan Alanna dari gudang.
"Alanna, ayo, Mama dan Shantika mau jalan-jalan!" ajak Mama.
Alanna menurut saja. Dari pada di gudang, mending jalan-jalan, pikirnya.
Ketika Alanna berganti baju, Alanna melihat Shantika dipakaikan baju oleh Mama. Kayak anak kecil aja! batinnya.
Setelah selesai bersiap-siap, mereka bertiga pun pergi menaiki sebuah becak. Alanna dan Mama duduk bersebelahan, sementara Shantika dipangku oleh Mama. 
Sesampainya di mall....
"Ma, Alanna mau baju yang ini nih, kayaknya bagus!" ujar Alanna sambil menunjuk ke arah sebuah baju berwarna pink.
"Ah, ini cocoknya buat Shantika!" sahut Mama.
"Ih, Mama, Alanna juga mau baju kayak gitu, kali!" balas Alanna tak mau kalah.
"Nanti untuk kamu, Mama yang milihin!" ujar Mama.
"Mama! Kenapa sih, Mama beliin untuk Shantika terus? Alanna kapan Mama beliin!" seru Alanna mulai kesal.
"Sabar dong, Alanna. Nanti juga kamu dibeliin!" jawab Mama.
"Sekarang, kamu jagain Shantika dulu ya, Mama mau membayar baju dulu!" perintah Mama. Alanna merengut kesal. Kan, Shantika bisa menjaga dirinya sendiri, kok malah aku sih yang harus jagain Shantika?!
"Aku tinggal dulu, ya!" seru Alanna sambil meninggalkan Shantika. Shantika mengangguk pelan. Wajahnnya terlihat pucat sekali. Namun, Alanna tidak memedulikan hal itu. Ia pun pergi meninggalkan Shantika sendirian.
Alanna pun asyik melihat-lihat aksesoris yang bagus-bagus. Ah, andai Mama mau membelikanku jepit kupu-kupu ini! Harapnya.
Alanna tidak menyadari suatu hal. Tiba-tiba...
"Alanna!" teriak Mama dari kejauhan.
Karena khawatir Mama akan marah lagi, akhirnya Alanna memutuskan untuk menghampiri Mama. Ia berjalan pelan-pelan.
Akan tetapi, ketika tiba di tempat ia meninggalkan Shantika tadi, ia tidak melihat Shantika di situ. Apalagi Mama.
Alanna pun langsung menelpon Mama. 
"Halo, Mama?" 
"Alanna, Mama tunggu di Rumah Sakit Harapan Jaya sekarang!" 
"Tut....tut....tut...." telepon pun dimatikan Mama begitu saja.
"Rumah sakit?" tanya Alanna bingung. Siapa yang sakit?? 
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya. Tapi, ia menuruti saja. Ia pun berjalan ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit....
"Maaf, apakah adik keluarga dari Ibu Halifa?" tanya seorang suster.
"Iya, benar sekali, Suster." jawabku.
"Adik ditunggu di depan ruang ICU sekarang," kata suster itu.
Alanna pun menuju ruang ICU. Terlihat Mama sedang mennggu Alanna sambil menangis.
"Ma, Mama kenapa? Lho, Shantika mana?" tanya Alanna.
"Shantika.... Shantika ada di dalam ruangan ini, dia.... Dia kritis...." ucap Mama sambil terisak.
"Hah?? Beneran Ma?" tanya Alanna sekali lagi. Mama mengangguk pelan.
"Enggak! Enggak mungkin! Ma, aku harus ketemu sama Shantika sekarang!" seru Alanna sambil berlari masuk ke dalam ruang ICU. Mama menahannya.
"Enggak, Alanna. Kamu belum boleh masuk karena umurmu masih terlalu kecil," ucap Mama.
"Baik, Ma..." 
Tiba-tiba, seorang suster datang.
"Maaf, apakah anda Ibunda dari adinda Shantika?" tanya suster.
"Ya, benar sekali. Ada apa ya?" kata Mama.
"Ibu ditunggu oleh dokter Braham di dalam," kata sang suster.
"Al, Mama masuk dulu, ya," ucap Mama. Alanna mengangguk.
Jantungnya berdegup kencang. "Ya Tuhan, semoga Shantika baik-baik saja..." ucapnya.
Tiba-tiba, Mama keluar dengan raut wajah yang sedih.
"Ma, Shantika baik-baik aja kan, Ma?" tanya Alanna cemas.
"Enggak, Alanna. Shantika sudah pergi..." ucap Mama sedih.
"Hiks... Shantika..." tangis Alanna.
"Alanna, Mama minta maaf ya, sama kamu. Mama memperlakukan kamu dan Shantika secara tidak adil. Waktu itu..."
Mama pun mulai bercerita. Alanna mendengarkan cerita Maama dengan serius.
Jadi, waktu itu, Alanna sedang pergi les. Sementara Mama dan Shantika, sedang pergi ke dokter.
"Dok, jadi, apa penyakit anak saya ini?" tanya Mama.
"Maaf, Bu, anak ibu terkena virus berbahaya. Dan, hidupnya tidak akan lama lagi..." ucap dokter.
"Enggak, Dok, pasti ada obatnya!" sahut Mama. Dokter itu menggeleng.
"Maaf, Bu, kami belum menemukan obatnya," kata dokter.
"Dok, bagaimanapun caranya, dokter harus menyembuhkan anak saya!" balas Mama.
"Bu, saya jujur. Mana mungkin saya berbohong? Bu, kematian itu bisa datang kapan saja. Ibu harus ikhlas menghadapi semua ini," nasihat sang dokter. Mama pun menangis.
Sejak itulah Mama menjadi lebih sayang sama Shantika. Alanna sama sekali tidak mengetahui hal itu...
 ****
Hari itu juga, jenazah Shantika dikuburkan. Alanna menangis sejadi-jadinya. Sementara Mama... Ia sama sekali tidak menangis. Alanna mengerti. Mama mungkin sudah mengikhlaskan Shantika...
"Maafkan aku, Shantika...." ucap Alanna dalam hati.
-TAMAT-